Cara Download Klik Link di bawah ini
http://www.mozilla.org/en-US/firefox/new/
Fadly Walukow
Musik
Selasa, 08 Januari 2013
Senin, 03 Desember 2012
Free Download Firefox V.10.0.2 Terbaru 2013: Bahasa Indonesia
den zuaz | 11:21 | 0
comments
Mozilla Firefox (aslinya bernama Phoenix dan kemudian untuk sesaat
dikenal sebagai Mozilla Firebird) adalah peramban web lintas platform
gratis yang dikembangkan oleh Yayasan Mozilla dan ratusan sukarelawan.
Di antara fitur populer Firefox adalah pemblokir pop-up yang sudah terpasang di dalamnya, dan sebuah mekanisme pengembangan (extension) untuk menambah fungsionalitas tambahan. Meskipun fitur-fitur ini sudah tersedia untuk beberapa lamanya di peramban-peramban web lainnya seperti Mozilla Suite dan Opera, Firefox merupakan peramban web pertama yang mendapatkan penerimaan dalam skala sebesar ini.
Firefox ditargetkan untuk mendapat sekitar 10% pangsa pasar Internet
Explorer keluaran Microsoft (peramban web terpopuler dengan margin yang
besar (per 2004) hingga tahun 2005, yang telah disebut oleh banyak orang
sebagai tahun kembalinya perang peramban web.
Firefox dapat dijalankan pada berbagai macam sistem operasi seperti Microsoft Windows, Linux, Mac OS X, dan FreeBSD. Versi stabil terbaru Firefox saat ini adalah 10.0.2., yang dirilis pada 16 Februari 2012 dengan versi Bahasa Indonesia, Bagi sobat yang berniat ingin mencoba silakan klik link download di bawah ya,,
FILSAFAT
Pendekatan Filsafat
Bagi seorang pemula, memasuki dunia filsafat bebarti memasuki ranah dunia
yang begitu mempesona sekaligus menantang dengan puluhan filosof dengan
pemikirannya masing-masing. Untuk menyelami maka diperlukan bagaiman cara
mendekati filsafat dan bagaimana cara masuk untuk mempelajarinya.
Pertama adalah pendekatan secara historis dengan berbagai variasinya.
Metode ini dipandang baik bagi para pemula, dalam pendekatan ini pemikiran para
filusuf terpenting dan latar belakang mereka dipelajarai secara kronologis.
Secara sederhana dalam sejarahnya filsafat terbagi menjadi tiga zaman nyaitu
Yunani Kuno, pertengahan dan modern. Kedua adalah pendekatan metodologis cara
ini memahami filsafat adalah kita berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai
macam metode filsafat ditimbang-timbang dan metode tersebut dipandang terbaik
untuk melakukan filsafat. Ketiga adalah pendekatan analisis dalam pendekatan
ini dalam mempelajari filsafat kita menjelaskan unsusr-unsur dari filsafat dan dalam
pendekatan ini unsur filsafat dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Keempat
adalah pendekatan eksistensial dalam pendekatan ini memperkenalkan jalan hidup
filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Pendekatan ini tema-tema pokok
filsafat dialami dengan harapan memperoleh gamabaran filasafat secara
keseluruhan.
Lahan Garap Filsafat
Filsafat beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi menjadi tiga
macam yang menjadi lahan kerja filsafat, nyaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga
pertanyaan dimana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut
merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi
mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Pertanyaan mengapa ini
merupakan kelanjutan dari mengetahui dasar dan pertanyaan mengapa merupakan
kajian bagaimana cara mengetahuinya tersebut. Sedangkan untuk aksiologi
merupakan kelanjutan dari dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan
bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dari setelah
mengetahui dan cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita
selanjutnya. Kalau menurut Imanuel Kant bahwa sistematika dalam filsafat
mencangkup dengan tiga pertanyaan apa yang dapat saya ketahui, apa yang dapat
saya harapkan, apa yang dapat saya lakukan. Pertanyaan tersebut mewakili dari
wilayah pengetahuan ada, dan nilai.
Ontologi.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang
ada. Dan dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan
mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang
termuat dalam setiap keyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap
bentuknya.dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat
kenyataan, seperti dapatkah manusia sunguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan,
apakah nyata dalam hakekat material ataukah spiritual, apak jiwa sungguh dapat
dibedakan dengan badan. Epistemologi. Epistemologi studi
tentang asal usul hakekat dan jangkauan pengetahuan. Apakah pengalaman
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Apakah yang menyebabkan suatu
keyakinan benar dan yang lain salah. Adakah soal-soal penting yang tidak dapat
dijawab dengan sains dan dapatkah kita mengetahui pikiran dan perasaan orang
lain. Pengkajian dari epistemologi adalah hakekat pengetahuan yang terdiri
empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan
sumber. Aksiologi dan Estetika. Aksiologi atau etika studi
tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian terhadap prilaku
manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar atau salah menurut moral,
apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik,
apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekendak hati.
Sedangkan estetika studi yang mendasarkan prinsip yang mendasri penilaian kita
atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni, apa peranan rasa dalam
pertimbangan estetis, bagaimana kita mengenal sebuah karya besar seni.
Logika
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata
atau pikiran. Secara bagahasa logika berati ilmu berkata atau ilmu berfikir
benar. Kebenaran adalah sayarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi
laku perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam
praktek berfikir menuju kebenaran dan menghindarkan budi menempuh jalan yang
salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu pengungkapan
kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai
bentuk argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik
tentang keteraturan penalaran. Logika berurusan dengan pengetahuan yang
bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan
kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi.
Dalam logika sangat terkait dengan matematika.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen
logis untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari
sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada hubungan logis
antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain,
kesimpulannya kurang lebih berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang
pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama, kita dapat meyatakan
yang kedua berdasarkan yang pertama. Sebagai contoh tuan x seorang lelaki yang
memiliki reputasi tinggi dan kedudukan sosial terhormat, telah dimintai untuk
mengetuai acara sosial terbesar. Dia datang terlambat, sehingga seorang pendeta
dimintai pidato sambil menunggu kedatangan tuan x. Pendeta tersebut
menceritakan sebuah anekdot tentang malunya pertama kali menjadi pastur yang
menjadi penerima pengakuan dosa. Ia berhadapan dengan pengakuan dosa yang telah
melakukan pembunuhan. Tak lama kemudian tuan x datang, dan dalam pidatonya
berkata saya melihat romo ini. Saat ini, mungkin tidak dapat mengenali saya,
beliau adalah teman lama saya dan saya malahan termasuk pengakuan dosa yang
pertama baginya. Jelas dalam kesimpulan bahwa tuan x melakukan pembunuhan tanpa
harus menyaksikan sendiri kejahatan tersebut.
Dalam pengambilan kesimpulan hanya mungkin dilakukan karena termasuk
hubungan-hubungan khusus antara proposi-proposi yang terlibat seperti suatu
proposisi mengikuti proposisi yang lainnya.ilmu logika untuk mempelajari
hubungan-hubungan ini dan hubungan tersebut ditunjukan oleh silogisme. Suatu
silogisme tersiri dari tiga proposisi dua proposisi merupakan premis dan
proposisi terakhir merupakan kesimpulan. Semua manusia akan mati, Socrates
adalah manusia, maka Socrates akan mati.
Bacaan lebih lanjut
Stephen
Palmquist, Pohon Filsafat
Jan Handrik
Lapar, Pengantar Logika
Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat; Pengantar Kearah Teori Pengetahuan
AC. Ewing, Persoalan-Persoalan
Mendasar Filsafat
Mark B.
Woodhouse, Berfilsafat Sebuah Langkah Aw
. FILOSOFIS PENDIDIKAN
1. PENGERTIAN FILSAFAT
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Ciri-ciri
berfikir filosfi :
1.
Berfikir
dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
2.
Berfikir
secara sistematis.
3.
Menyusun
suatu skema konsepsi, dan
4.
Menyeluruh.
Empat
persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :
1.
Apakah
sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
2.
Apakah
yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
3.
Apakah
manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.
Beberapa
ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu
adalah:
1.
Materialisme,
yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah.
Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme
memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
2.
Idealisme
yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani
atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme
objektif.
3.
Realisme.
Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan
hakitat yang asli dan abadi.
4.
Pragmatisme
merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut)
tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat
filsafat dalam kehidupan adalah :
1.
Sebagai
dasar dalam bertindak.
2.
Sebagai
dasar dalam mengambil keputusan.
3.
Untuk
mengurangi salah paham dan konflik.
4.
Untuk
bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
2. FILSAFAT PENDIDIKAN
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Beberapa
aliran filsafat pendidikan;
1.
Filsafat
pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
2.
Filsafat
pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
3.
Filsafat
pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Progresivisme
berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme
bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling
ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus
karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang
telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf
kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
3. ESENSIALISME
DAN PERENIALISME
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme
juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu
pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada
dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada
apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek
tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut
idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang
apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri
dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai
pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang
mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat
bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan
menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil
dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu
pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya
sepanjang masa.
Perenialisme
berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang
ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang
telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia
dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah
persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai
indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa
pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1.
Program
pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan
akal (Plato)
2.
Perkemhangan
budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat
untuk mencapainya ( Aristoteles)
3.
Pendidikan
adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau
nyata. (Thomas Aquinas)
Adapun
norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran,
cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap
eksistensi serta cinta kerjasama.
4. PENDIDIKAN
NASIONAL
Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Pendidikan
nasional Indonesrn adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan
pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh
flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara
Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Filsafat
pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan
teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan
dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi
kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita
bangsa dan negara Indonesia.
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan
dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu
apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu
banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia
mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi
sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut
menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita,
apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana
kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa
pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak
terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan
kepadanya kita menuju?” -- Zaman
Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap
Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan
mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah,
terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam
musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang
Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah
membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan
dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah
Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus
lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah
ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi
dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala
kenyataan (realitas) itu. Proses itu
mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis,
sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali
dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah
tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh
kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) :
"Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan
pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia
... Bagian filsafat yang paling mulia
adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan
sebab dari segala kebenaran".
Unsur "rasional"
(penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya
untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan
manusia di dunianya menuju akhirat.
Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju
kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau
bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari ("obyek material"), yaitu
"manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas --
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis
"semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap
terhadap hidup dan kematian. Ada yang
berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang
terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir,
maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan
hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari
hidup". Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think"
(Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976
), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" =
"to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang
Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa
kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar
kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya
mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar
sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan
menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam
"Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun dekat dengan kata
Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan
digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM),
pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere
= menjauhkan diri dari, mengambil
dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan
satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu
disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama - fisika.
Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita
“melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi
yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata,
ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual.
Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu
pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya,
kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari
materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh jenis abstraksi dari
semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis =
pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-"abstrahere" dari
semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan
tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.
Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu
pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi
karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi
selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup
“segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut
“sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari
filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi
pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara
sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap
manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai
Sumber segala kehidupan di alam semesta ini.
Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan
(misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya
dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal
ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan.
Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku
dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata
"sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok
orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara
bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2)
tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman
dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk
dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.
Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah
wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha
yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa
kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks
inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm")
telah digunakan dalam teks Al Qur'an.
Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga
dapat dimengerti. Periksalah pula buku
Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu
pengetahuan", Gema Insani Press, 1998.
Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu
dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna
kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana
diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah".
Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat
hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia
meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan
"dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan
kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia
atas "sapaan" Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi
merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin
memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya:
"aku tahu kepada siapa aku
percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran
Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal
menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi
akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi
hidup manusia masa kini.
4. Obyek material dan obyek
formal
Ilmu filsafat memiliki obyek
material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala
"manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol,
yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka
ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi),
dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata
"akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti
dengan kata Tuhan). Antropologi,
kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga,
sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang
lain. Juga pembicaraan filsafat tentang
akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek
material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang
kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari
pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi
(merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi
proses abstraksi, sehingga yang
tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala
manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah
gejala "manusia tahu". Tugas
filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya.
Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"),
"kepastian" (versus "ketidakpastian"),
"obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi",
"intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah
pengetahuan. Pada gilirannya gejala
ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu
(sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap
gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.
Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam
ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas,
filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia,
tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum,
agama, sejarah, ... Semua selalu
dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan
("episteme") dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik
ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh
keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan)
dan esensi (hakekat)
metafisika
umum (ontologi);
metafisika
khusus:
antropologi
(tentang manusia);
kosmologi
(tentang alam semesta);
teodise
(tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai
yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus
mengenai filsafat tentang pengetahuan.
Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan?
Dari mana asalnya? Apa ada
kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang
kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan
jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika
("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan",
"berhubungan dengan bahasa".
Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu
dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati
supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon
ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu
lain. Disebut pohon karena dimengerti
pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan
teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar
kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.
5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat
dikenal ada banyak aliran filsafat:
eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.
5.4.
Pastilah ada filsafat tentang
agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala
agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat
hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris,
yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi
dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus
itu dimengerti sebagai Mysterium
Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku
hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada
adalah filsafat dalam agama X,
yaitu pemikiran menuju pembentukan
infrastruktur rasional bagi ajaran agama X.
Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai
hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji
ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam
hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di
lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka
berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang
tahu". Tahukah saudara akan kadar
keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan "dimanakah
letak hati yang dimaksudkan disini?
Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit
hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa
oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata
"sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para
dokter di rumah sakit. Periksa pula apa
yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu",
"berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati",
"hati nurani", dan "suara hati".
3. Menurut
Paul A Samuelson tirani kata
merupakan gejala umum dalam masyarakat.
Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan
ada pula banyak makna terkait dalam satu kata.
Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan
terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk
menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene
Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk
persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk
berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional dan
refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai
membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material
dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam
naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki
sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut
Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi
juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel
-- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula
dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah
mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan
ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama
Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu
pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel
(dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus
dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis
yang sekarang disebut "negara Israel".
Kedua refleksi itu berbeda dalam
banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan
cetusan penolakan mereka atas
mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para
dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu
(misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian
Lama) merupakan ditopang oleh kalbu
karena merupakan cetusan penerimaan
bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa
itu. Refleksi imani itu sungguh
merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama
dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah
manusia.
Sekarang ada yang berpendirian,
bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis,
ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa
ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat
bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi
bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi
itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud
"ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya
sastra "kaliber dunia" dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan
sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai
kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup
sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad
4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari
posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala
inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru)
menginterpretasi Gita bukan sebagai
pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk "mokhsa",
pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini.
Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas
kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar
tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha",
perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak
adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah "a
man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang
untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang ditempuhnya.
Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat
komentar yang kurang lebih sama. Tanpa
interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai
bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi
dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan
spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan
mandiri. Melalui refleksi pula, manusia
dan kelompok-kelompok manusia (yaitu
suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi
ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat
sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra
Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ:
"Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh
Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.
Langganan:
Postingan (Atom)